Aku hanya bayang hitam, yang tak pernah kau perdulikan… Aku hanya ingin buat kamu terindah dalam hatiku… Sepertinya aku tak mampu buktikan apapun kepadamu… Karena bias matamu semakin tertutup. Sia-sia sudah harapanku… Aku lelah dalam cerita ini. Ku mohon berikan episode terakhir untukku., Karena derita kurasa perasaanku terhadapmu… Maafkan aku yang mencoba untuk mencari celah dalam hatimu… Yang mungkin telah terkunci untukku… Maafkan egoku, yang tak mengerti perasaanmu… Karena semakin berat kaki ini tuk melangkah dan meraih cintamu… Bukan maksud hati untuk sakitimu… Karena kamu pernah jadi inspirasi terindahku… Nafas perjuanganku telah temui titik lelah Maafkan dinda… Aku tak setangguh yang kau kira… Kuakui kau mampu membakar aliran darahku…
Sabtu, 18 Desember 2010
Maafkan Aku
Minggu, 05 Desember 2010
KARYA ILMIAH PUISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Puisi
adalah karya sastra yang menggunakan kata-kata yang indah dan penuh makna.
Keindahan puisi disebabkan oleh diksi, majas, rima dan irama yang terkandung
dalam puisi tersebut. Seorang penulis menciptakan puisi disebabkan ia mempunyai persoalan atau masalah yang
ingin dikemukakan dan bisa juga disebut puisi adalah ungkapan hati sang
penulis. Jika puisi tersebut berisi tentang kekecewaan , kesedihan maka sudah
jelas si penulis sedang merasa sedih. Tiap-tiap penulis mempunyai cara yang
berbeda-beda dalam mengemukakan persoalan tersebut. Ada yang mengemukakan
dengan kata-kata yang indah atau bermakna sebenarnya, ada juga yang secara
terselubung. Oleh sebab itu, kelompok kami tertarik untuk membahas gaya bahasa
yang terdapat pada puisi Chairil Anwar.
1.2. Rumusan Masalah
a. Gaya bahasa apa saja yang banyak digunakan
dalam puisi Chairil Anwar
b. Bagaimana makna yang ditimbulkan dari gaya
bahasa puisi tersebut
1.3. Tujuan Penelitian
a. Mampu mengemukakan gaya bahasa apa saja yang banyak
digunakan dalam puisi Chairil Anwar
b. Mampu mengungkapkan
makna yang ditimbulkan dari gaya bahasa puisi tersebut
1.4. Hipotesis
Puisi-puisi
karya Chairil Anwar yang kami teliti, yaitu puisi yang berjudul “Penghidupan,
Tak Sepadan, dan Sia-sia” sebagian bersar banyak menggunakan Majas atau Gaya
Bahasa Hiperbola, sebagai gaya bahasa yang digunakan dalam membuat atau menulis
isi puisi tersebut.
1.5. Metode
Penelitian
Metode
penelitian yang digunakan yaitu metode Kualitatif. Teknik pengumpulan datanya
anlisis dokumen atau studi pustaka.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Puisi
2.1.1 Pengertian Puisi
Menurut
Blair dan Thandler (HG.Tarigan:1984:4) Puisi adalah ekspresi dari pengalaman
yang bersifat imaginatif yang hanya bernilai serta berlaku dalam
ucapan/persyaratan yang bersifat kemasyarakatan yang di utarakan dengan bahasa.
Sedangkan menurut Ahdiyat (1986/1987:46) Puisi adalah cipta sastra yang terdiri
atas beberapa baris dan baris-baris itu memperlihatkan pertalian makna serta
membentuk sebuah bait atau lebih. H.G. Tarigan mengutip pendapat Watts bahwa
puisi adalah ekspresi yang kongkret dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam
bahasa emosional dan berirama.
Diakses
dari
http://pheythieq.blogspot.com/2009/05/pengertian-puisi-menurut-para-ahli.html
Berdasarkan
kutipan di atas dapat di simpulkan bahwa puisi adalah salah satu bentuk cipta
sastra atau karya tulis yang bersifat terikat.
2.1.2 Struktur Puisi
a. Struktur Fisik
Puisi
(1)
Perwajahan puisi (tipografi), yaitu bentuk puisi seperti halaman yang
tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris
puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda
titik. Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
(2) Diksi, yaitu pemilihan kata-kata yang
dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Karena puisi adalah bentuk karya sastra
yang sedikit kata-kata dapat mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus
dipilih secermat mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan
makna, keselarasan bunyi, dan urutan kata. Geoffrey (dalam Waluyo, 19987:68-69)
menjelaskan bahwa bahasa puisi mengalami 9 (sembilan) aspek penyimpangan, yaitu
penyimpangan leksikal, penyimpangan semantis, penyimpangan fonologis,
penyimpangan sintaksis, penggunaan dialek, penggunaan register (ragam bahasa
tertentu oleh kelompok/profesi tertentu), penyimpangan historis (penggunaan
kata-kata kuno), dan penyimpangan grafologis (penggunaan kapital hingga titik)
(3) Imaji, yaitu kata atau susunan kata-kata yang
dapat mengungkapkan pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji
penglihatan (visual), dan imaji raba atau sentuh (imaji taktil). Imaji dapat
mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan seperti apa
yang dialami penyair.
(4) Kata kongkret, yaitu kata yang dapat
ditangkap dengan indera yang memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini
berhubungan dengan kiasan atau lambang. Misal kata kongkret “salju:
melambangkan kebekuan cinta, kehampaan hidup, dll., sedangkan kata kongkret
“rawa-rawa” dapat melambangkan tempat kotor, tempat hidup, bumi, kehidupan,
dll.
(5) Bahasa
figuratif, yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek dan
menimbulkan konotasi tertentu (Soedjito, 1986:128). Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya
akan makna (Waluyo, 1987:83). Bahasa figuratif disebut juga majas. Adapaun
macam-amcam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi,
sinekdoke, eufemisme, repetisi, anafora, pleonasme, antitesis, alusio, klimaks,
antiklimaks, satire, pars pro toto, totem pro parte, hingga paradoks.
(6) Versifikasi, yaitu menyangkut rima, ritme,
dan metrum. Rima adalah persamaan bunyi pada puisi, baik di awal, tengah, dan
akhir baris puisi. Rima mencakup
(1) onomatope (tiruan terhadap bunyi,
misal /ng/ yang memberikan efek magis pada puisi Sutadji C.B.),
(2) bentuk intern pola bunyi
(aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, sajak berselang, sajak
berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi [kata], dan sebagainya [Waluyo, 187:92]),
dan
(3)
pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang pendek, keras
lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.
b. Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi akan dijelaskan sebagai berikut:
(1) Tema/makna (sense); media puisi adalah
bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus
bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan.
(2) Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap
pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pengungkapan tema dan rasa
erat kaitannya dengan latar belakang sosial dan psikologi penyair, misalnya
latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, dan pengetahuan.
Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak
bergantung pada kemampuan penyairmemilih kata-kata, rima, gaya bahasa, dan
bentuk puisi saja, tetapi lebih banyak bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan
psikologisnya.
(3) Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap
pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat
menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca
untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca,
dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll.
(4) Amanat/tujuan/maksud (itention); sadar maupun
tidak, ada tujuan yang mendorong penyair menciptakan puisi. Tujuan tersebut
bisa dicari sebelum penyair menciptakan
puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya.
2.1.3 Jenis Puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi
baru.
Puisi Lama
Ciri-ciri puisi lama:
Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra
lisan.
Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap
bait, jumlah suku kata maupun rima.
Yang termasuk puisi lama adalah:
Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan
gaib.
Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap
bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai
sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya
terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka.
Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
Seloka adalah pantun berkait.
Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris,
bersajak a-a-a-a, berisi nasihat.
Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap
bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6,
8, ataupun 10 baris.
Puisi Baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama, baik
dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima. Menurut isinya, puisi baru
dibedakan atas:
Balada adalah puisi berisi kisah/cerita.
Himne adalah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau
pahlawan.
Ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang berjasa.
Epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup.
Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta
kasih.
Elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan.
Satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik.
Diakses dari
http://duniapuisi.110mb.com/jenis-jenis%20puisi.htm
2.2 Gaya Bahasa Puisi
Majas atau gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa,
pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri
bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyampaikan pikiran dan
perasaan, baik secara lisan maupun tertulis.
2.2.1 Jenis-jenis
Gaya Bahasa :
· Majas perbandingan
1. Alegori: Menyatakan dengan cara lain,
melalui kiasan atau penggambaran.
2. Alusio: Pemakaian ungkapan yang tidak
diselesaikan karena sudah dikenal.
3. Simile:
Pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan
dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dll.
4. Metafora:
Pengungkapan berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti
layaknya, bagaikan, dll.
5. Antropomorfisme: Metafora yang menggunakan
kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan
manusia.
6. Sinestesia: Majas yang berupa suatu ungkapan
rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya.
7. Antonomasia:
Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis.
8. Aptronim: Pemberian nama yang cocok dengan
sifat atau pekerjaan orang.
9. Metonimia: Pengungkapan berupa penggunaan
nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut.
10. Hipokorisme:
Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan
karib.
11. Litotes:
Ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri.
12. Hiperbola:
Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut
menjadi tidak masuk akal.
13. Personifikasi: Pengungkapan dengan
menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia.
14. Depersonifikasi:
Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa.
15. Pars
pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek.
16. Totum
pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
17. Eufimisme:
Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata
lain yang lebih pantas atau dianggap halus.
18. Disfemisme:
Pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
19. Fabel: Menyatakan perilaku binatang sebagai
manusia yang dapat berpikir dan bertutur kata.
20. Parabel:
Ungkapan pelajaran atau nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita.
21. Perifrase:
Ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek.
22. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat
atau pranata.
23. Simbolik:
Melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan
maksud.
· Majas sindiran
Ironi: Sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya
dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut.
Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar.
Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide
bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi,
untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll.
Innuendo: Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta
sesungguhnya.
· Majas penegasan
Apofasis: Penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang
ditegaskan.
Pleonasme: Menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah
jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Repetisi: Perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam
suatu kalimat.
Pararima: Pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata
atau bagian kata yang berlainan.
Aliterasi: Repetisi konsonan pada awal kata secara
berurutan.
Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase,
atau klausa yang sejajar.
Tautologi: Pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya.
Sigmatisme: Pengulangan bunyi "s" untuk efek
tertentu.
Antanaklasis: Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi
dengan makna yang berlainan.
Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut
dari yang sederhana/kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih
penting.
Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara
berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang
sederhana/kurang penting.
Inversi: Menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu
kalimat sebelum subjeknya.
Retoris: Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah
terkandung di dalam pertanyaan tersebut.
Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang
dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada.
Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap
keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya.
Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana,
dihubungkan dengan kata penghubung.
Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata
penghubung.
Interupsi: Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di
antara unsur-unsur kalimat.
Ekskalamasio: Ungkapan dengan menggunakan kata-kata seru.
Enumerasio: Ungkapan penegasan berupa penguraian bagian demi
bagian suatu keseluruhan.
Preterito: Ungkapan penegasan dengan cara menyembunyikan
maksud yang sebenarnya.
Alonim: Penggunaan varian dari nama untuk menegaskan.
Kolokasi: Asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain
yang berdampingan dalam kalimat.
Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari
satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan
tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat
yang rancu.
Diakses dari http://bukucatatanadi.blogspot.com/2010/02/kumpulan-gaya-bahasa.html
· Majas pertentangan
Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang
seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar.
Oksimoron: Paradoks dalam satu frase.
Antitesis: Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang
berlawanan arti satu dengan yang lainnya.
Kontradiksi interminus: Pernyataan yang bersifat menyangkal
yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya.
Anakronisme: Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan
antara peristiwa dengan waktunya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 PENGHIDUPAN
Lautan maha dalam
mukul dentur dalam
nguji tenaga pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
kurnia Bahgia
kecil setumpuk
sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk
Chairil
Anwar (Desember 1942)
Pada bait
pertama puisi yang berjudul PENGHIDUPAN yang berbunyi //Lautan maha dalam//
mengandung majas Metonimia, karena majas ini mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Bait
dua dan tiga yang berbunyi //mukul dentur selama// dan //nguji tenaga pematang
kita// mengandung majas Hiperbola, karena majas ini mengandung suatu pernyataan
yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Selanjutnya, bait empat dan lima yang berbunyi //mukul
dentur selama// dan //hingga hancur remuk redam// pun sama mengandung majas
Hiperbola. Bait enam, tujuh dan delapan yang berbunyi //Kurnia bahgia//,
//kecil setumpuk// dan //sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk//, mengandung majas Ironi, karena majas ini ingin
mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung
dalam rangkaian kata-katanya.
3.2 TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
Chairil
Anwar ( Februari 1943)
Pada bait
satu, dua dan tiga puisi yang berjudul TAK SEPADAN yang berbunyi //Aku kira//,
//Beginilah nanti jadinya// dan //Kau kawin, beranak dan berbahagia//
mengandung majas Ironi, karena majas ini ingin mengatakan sesuatu dengan makna
atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya.
Bait keempat yang berbunyi //sedang aku mengembara serupa Ahasveros//
mengandung majas Simile, karena majas ini mengandung perbandingan yang bersifat
eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit adalah
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan
upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti,
sama, sebagai, bagaikan, laksana, serupa dengan dan sebagainya.
Selanjutnya, bait lima, enam dan tujuh yang berbunyi //Dikutuk-sumpahi
Eros//, //Aku merangkaki dinding buta//,
dan //Tak satu juga pintu terbuka”// mengandung majas Hiperbola, karena
majas ini mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan
sesuatu hal. Bait delapan dan sembilan yang berbunyi //Jadi baik juga kita
padami//, //Unggunan api ini// mengandung majas Metonimia, karena majas ini
mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Dan, bait terakhir yaitu bait sepuluh dan sebelas
yang berbunyi //Karena kau tidak ‘kan apa-apa//, //Aku terpanggang tinggal
rangka// mengandung majas Hiperbola, karena majas ini mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
3.3 SIA-SIA
Penghabisa kali itu kau datang
Membawa kembang berkarang
Mawar mewah dan melati putih
Darah dan suci
Kau terbarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dkoyak-koyak sepi
Chairil
Anwar (Februari 1943)
Pada bait satu dan dua puisi yang berjudul SIA-SIA
yang berbunyi //Penghabisa kali itu kau datang//, //Membawa kembang berkarang//
mengandung majas Simbolik, karena gaya bahasa kiasan untuk melukiskan sesuatu
dengan menggunakan benda – benda sebagai simbol atau perlambang. Bait tiga,
empat dan lima yang berbunyi //Mawar mewah dan melati putih//, //Darah dan
suci// dan //Kau terbarkan depanku// mengandung majas Alegori, karena majas ini
gaya bahasa yang mengungkapkan beberapa perbandingan yang bertaut satu dengan
yang lain dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Bait keenam yang berbunyi
//Serta pandang yang memastikan: untukmu// mengandung majas Perifrasis, karena
majas ini gaya bahasa penguraian sepatah kata diganti dengan serangkaian kata
yang mengandung arti yang sama.
Selanjutnya,
bait tujuh, delapan dan sembilan yang berbunyi //Lalu kita sama termangu//,
//Saling bertanya: apakah ini?// dan //Cinta? Kita berdua tak mengerti//
mengandung majas Retoris, karena berupa pertanyaan yang tidak menuntut suatu
jawaban. Bait sepuluh yang berbunyi //Sehari kita bersama. Tak
hampir-menghampiri// mengandung majas Eufimisme, karena majas ini menyatakan
sesuatu dengan ungkapan yang lebih halus. Dan, bait yang terakhir yaitu bait
sebelas dan duabelas yang berbunyi //Ah! Hatiku yang tak mau memberi//, //Mampus
kau dkoyak-koyak sepi// mengandung majas Hiperbola, karena majas ini mengandung
suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Puisi dipahami bukan hanya berdasarkan makna yang tersurat,
melainkan juga berdasarkan makna yang tersirat. Makna yang tersirat dapat
ditelusuri berdasarkan konteksnya. Konteks disini berarti segala hal yang ada
disekitar teks, termasuk proses pembuatan puisi itu sendiri. Puisi yang
menggunakan kata-kata konotatif, relatif lebih sulit dipahami. Pembaca dituntut
untuk menafsirkan makna kata-kata serta bentuk-bentuk kalimat-kalimat yang agak
lain dari pemakaian biasa.
Selain itu, Beberapa
puisi Chairil Anwar yang kami analisis banyak menggunakan bermacam-macam gaya
bahasa, namun dari beberapa puisi yang kami analisis, puisi karya Chairil Anwar
lebih banyak menggunakan gaya bahasa hiperbola.
Langganan:
Postingan (Atom)